akhwat

akhwat

Minggu, 15 April 2012

MANFAAT YANG DIHARAPKAN APABILA KITA MEMPETAHNKAN DAN MENGEMBANGKAN BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA DAERAH

Pertanyaan ini sebenarnya mempunyai ikutan atau pelibatan makna bahwa sudah ada keraguan terhadap nilai budaya sendiri, sebagai akibat ketidak-mampuan kita menghormati dan memelihara budaya daerah. Pemahaman budaya suatu bangsa dapat dilakukan secara mendalam jika pemahaman itu dilakukan atas dasar perspektif budaya bangsa itu sendiri, bukan dari perspektif budaya asing. Demikian pula halnya dengan pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah. Pemahaman budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah dapat dicapai kedalamannya, apabila kita mampu melihatnya dari perspektif budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri.

Dengan mengingat definisi budaya sebagai “pola keyakinan, sikap, dan perilaku yang dipelajari oleh suatu bangsa yang kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya,” saya percaya bahwa keyakinan, sikap, dan perilaku suatu etnis selalu dinyatakan dalam bahasa daerah yang dipergunakan dalam interaksi antar anggota etnis itu. Banyak ungkapan yang mencerminkan keyakinan, sikap, dan perilaku suku-suku bangsa kita ini yang tak dapat dinyatakan dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing.

Di samping itu, hasil pengalaman hidup dan pemikiran yang sudah berlangsung berabad-abad, misalnya dalam hal seni dan budaya dengan segala aspeknya, seperti model pakaian, masakan, obat-obatan, keperluan rias, dan lain-lain hanya dapat diungkap dan dipahami secara sempurna dalam bahasa daerah yang ada di Nusantara ini.
Dalam masalah sastra juga banyak terdapat ungkapan yang hanya bisa dinyatakan dalam bahasa daerah untuk mempertahankan keindahan dan makna yang dikandungnya. Tidak heran jika kita mendapatkan pemakaian bahasa daerah dalam ranah sastra Indonesia, karena pengarang lebih “sreg” menggunakan bahasa daerah daripada menggunakan bahasa Indonesia. Pengarang novel atau serita pendek yang berasal dari Batak, Bali, Lampung, Makasar, Bugis, Jawa dan lain-lainnya yang ada di Nusantara ini tak dapat lepas dari penggunaan bahasa daerah masing-masing, karena dengan menggunakan ungkapan bahasa daerah itu pengarang tetap dapat menyampaikan maksud yang dikehendaki tanpa mengorbankan aspek keindahannya.

Bahasa-bahasa daerah yang ada di Nusantara ini tidak lebih rendah dari bahasa-bahasa yang ada di dunia termasuk bahasa-bahasa yang ada di Asia, seperti bahasa Arab, bahasa Thai, bahasa Tamil, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, bahasa Korea dan lain-lainnya. Bahasa-bahasa ini tetap dipertahankan oleh masyarakat penutur-aslinya, karena eksistensi bangsa ini tidak dapat dilepaskan dari bahasanya. Bahasa-bahasa di atas ini dipelajari oleh bangsa lain bukan karena kemampuan komunikasi bahasa itu dalam ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan interaksi umat manusia lebih tinggi dari bahasa-bahasa daerah kita. Bahasa-bahasa itu menjadi begitu bergengsi karena kualitas manusia dengan etos kerja yang tinggi menjadikan bangsa-bangsa itu menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang lebih kreatif. Bukan karena bahasanya. Bahasa merupakan representasi untuk mengungkapkan segala sesuatu yang mereka capai itu. Biar bangsa lain mempelajari bahasa-bahasa Jepang, Cina, Korea, Inggris, dan lain-lain, karena memang hasil keras mereka yang berupa ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya itu memang dibutuhkan oleh bangsa lain termasuk oleh bangsa Indonesia.

Seandainya bangsa-bangsa yang saya sebutkan itu tidak memiliki presatasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi, bahasa mereka tidak akan dipelajari oleh bangsa-bangsa lain di dunia, karena tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka. Itu seandainya begitu. Sebaliknya, seandainya suku-suku bangsa kita yang beraneka ragam ini juga memiliki prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya yang tinggi dan dinyatakan dalam bahasa dengan aksara daerah masing-masing, bangsa lain akan lebih memperhatikan bahasa-bahasa daerah yang kita miliki. Jangan karena kualitas bangsa dengan etos kerja dan disiplin yang rendah sehingga prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budayanya rendah, lalu menganggap bahwa bahasa, sastra, dan aksara daerah dialpakan begitu saja. Prestasi ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya sudah miskin, mau mengalpakan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah yang dimiliki. Lalu kita punya apa yang bisa dipakai tanda bahwa kita ini eksis di dunia ini?
Khusus tentang aksara daerah. Budaya yang sudah memiliki system tulisan sendiri menandakan bahwa budaya itu memiliki derajad yang tinggi, sebab dalam budaya itu segala pola pikiran, keyakinan, dan perilaku pemiliknya terekam untuk dipelajari dan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya, tanpa batas ruang dan waktu. Berapa jumlah bangsa dan bahasa yang ada di dunia ini tak terhitung banyaknya. Tetapi berapa budaya yang memiliki system tulisan sendiri perkiraan saya tidak lebih dari lima persen. Perkiraan ini saya dasarkan atas banyaknya bahasa yang ada di Indonesia. Ada tidak kurang dari lima ratus bahasa, tetapi bahasa yang memiliki sistem tulisan sendiri tidak ada lima persen dari seluruh bahasa yang ada di Nusantara ini.

Di samping itu, menciptakan simbol, sebagai suatu sistem tulisan, yang dapat menyatakan semua aspek cipta, rasa, karsa, dan karya suatu bangsa dengan budaya dan bahasanya tidak mudah. Lima kali, sepuluh kali, atau berapa kali pun kongres bahasa ini belum tentu dapat merumuskan simbol-simbol sebagai suatu sistem tulisan yang dapat diterima oleh suatu budaya untuk merekam semua pola pikiran, keyakinan, dan perilaku dan dipelajari serta diwariskan kepada generasi mendatang tanpa batas ruang dan waktu.

Demikianlah halnya dengan sistem tulisan daerah yang ada dalam budaya Nusantara ini, seperti aksara Batak, Bali, Bugis, Jawa, Lampung, dan Bima. Saya percaya banyak dokumentasi pola pikiran, keyakinan, dan perilaku budaya-budaya daerah ini yang tak ternilai harganya yang direkam dengan sistem tulisan daerah-daerah itu, baik yang masih ada di museum-museum di tanah air maupun yang ada di museum-museum manca negara, terutama yang ada di Eropa dan Amerika seperti yang pernah saya lihat di Smithsonian Institution di Washington D. C.

Jika nanti sistem tulisan daerah ini lenyap dari bumi Nusantara, maka generasi yang sangat bertanggung-jawab atas lenyapnya aksara daerah ini ialah generasi yang sekarang ini, terutama individu-individu yang secara formal diberi tanggung-jawab untuk menghormati dan memelihara aksara daerah itu. Saya katakan generasi yang sekarang, sebab sekarang ini masih ada individu-individu yang mampu menguasai aksara daerah itu untuk tujuan-tujuan rekognitif dan produktif, tetapi kita tidak memberikan atmosfir yang menunjang penghormatan dan pemeliharaan aksara daerah tersebut. Kita tidak mau mempelajari aksara daerah itu kemudian menurunkan kepada generasi berikutnya, pada hal, jika ada niatan, kita masih belum kematian dian. Atas dasar pemikiran di atas saya meneriakkan suara pecinta dan pemeduli hidupnya aksara daerah agar aksara-aksara daerah itu tetap dipelihara dan dihormati, bukan dibiarkan mati tak terurus.

Bagimanakah Kita Memelihara Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah?
Sebelum melakukan tindakan penghormatan, penyelamatan, dan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah, yang utama ialah adanya kemauan untuk menghormati, menyelamatkan, dan memelihara bahasa, sastra, dan aksara daerah itu sendiri. Adanya kemauan yang keras akan memberi semangat untuk mencari cara. Sebenarnya untuk menghormati dan memelihara bahasa dan sastra daerah, Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa,Bahasa Lampung, selalu merumuskan butir-butir tindakan, mulai dari rumusan perda, keterlibatan pemerintah daerah, sampai dengan langkah-langkah kongkrit yang harus dilaksanakan. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali, misalnya, telah mengeluarkan Buku Pembinaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali, atas dasar Peraturan Daerah Nomor 3/1992, yang secara khusus diperkuat oleh Edaran Gubernur Nomor 1/1995, tentang Penulisan Papan Nama dengan Dwi Aksara Bali.

Dengan mengambil analogi yang terdapat pada Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, penyelamatan, pemeliharaan, dan penghormatan bahasa-bahasa daerah, terlebih dahulu pemilik dan penutur asli bahasa daerah itu sendiri perlu dibuat sadar bahwa daerah itu berfungsi sebagai
(1) lambang kebanggaan daerah dan masyarakat penuturnya,
(2) lambang identitas daerah dan masyarakat penuturnya,
(3) alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat,
(4) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia, dan
(5) sarana pendukung daerah dan budaya Indonesia.

Apabila pemilik dan penutur asli bahasa daerah sadar bahwa begitu besar dan pentingnya fungsi bahasa daerah, perlu diupayakan peningkatan mutu pemakaian bahasa daerah, mencakup upaya meningkatkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa daerah melalui jalur formal—pendidikan dan pengajaran di sekolah dan jalur informal--dengan memfungsikan bahasa daerah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Pembinaan sastra daerah juga perlu didahului dengan penanaman kesadaran kepada seluruh rakyat Indonesia dan pemilik sasrta daerah bahwa sastra daerah merupakan bukti historis masyarakat daerah. Sehubungan dengan itu, sastra daerah sebagai salah satu bagian dari sastra Indonesia berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya Indonesia, yang di dalamnya terekam pengalaman etika, estetika, moral, agama, dan social masyarakat daerah. Dalam kedudukannya sebagai wahana ekspresi budaya, sastra daerah memiliki fungsi sebagai perekam kebudayaan daerah dan pemelihara, pemupuk, dan penumbuh solidaritas daerah.

Apabila kesadaran akan begitu besar dan pentingnya sastra daerah telah timbul, pembinaan yang perlu dilakukan ialah meningkatkan mutu apresiasi sastra daerah. Upaya peningkatan ini bisa dilakukan lewat pendidikan, pengajaran, pemasyarakatan, dan pemberdayaan sastra daerah. Secara kongkrit,
(1) adakan pendidikan dan pengajaran sastra daerah tersendiri sebagai matapelajaran dalam kurukulum, bukan merupakan bagian kecil dari pendidikan dan pengajaran bahasa daerah,
(2) adakan guru-guru satra daerah yang bermutu,
(3) adakan atmosfir yang bermutu untuk mendukung penciptaan karya sastra yang bermutu pula,
(4) manfaatkan tokoh-tokoh sastra daerah yang masih kreatif dan produktif,
(5) berikan penghargaan yang wajar kepada sastrawan daerah, dan adakan penerjemahan karya sastra yang memiliki nilai universal.

Singkatnya, pengembangan sastra daerah adalah upaya untuk meningkatkan mutu sastra daerah agar sastra daerah itu dapat dimanfaatkan sebagai media ekspresi pencarian dan pencerminan jati diri dalam membangun masyarakat daerah yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Kegiatan pengembangan meliputi penelitian dan penulisan-penulisan.

Aksara daerah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya daerah. Melihat fungsinya, aksara daerah telah dan dapat digunakan lagi dalam kehidupan bersastra, berseni, pendidikan, adapt, agama, serta komunikasi tulis sehari-hari. Dengan lain perkataan, aksara daerah itu dapat diberi kedudukan yang tinggi seperti yang terdapat pada mata uang logam jaman Belanda berikut ini.

Anehnya, kita ini ada dalam jaman kemerdekaan. Tetapi justru pada alam kemerdekaan ini sendiri, bahasa, sastra, dan aksara daerah tidak kita pelihara, tidak kita hormati, apalagi kita junjung tinggi seperti pada jaman penjajahan. Sebenarnya, jika kita mau, bahasa dan penulisan aksara daerah dapat saja dicantumkan pada mata uang resmi Indonesia. Masih banyak ruang pada mata uang kita itu yang dapat memuat bahasa dan aksara daerah kita. Perhatikan betapa banyaknya ruang pada mata uang kertas kita seandainya kita mau memberi muatan bahasa dan aksara daerah.


Saya kira, tidak hanya pada mata uang saja, aksara daerah itu bisa kita beri kedudukan yang terhormat. Pada petunjuk-petunjuk produk Indonesia pun, bisa saja kita muati bahasa dan aksara daerah sebagaimana para produsen Cina, Jepang, Korea, Thailand, dan lain-lain, yang dengan bangganya mencantumkan bahasa dan aksara mereka masing-masing pada petunjuk pemakaian produknya.

Mungkin ada yang berfikiran begini. Jika bahasa dan aksara daerah itu kita cantumkan pada mata uang, tidakkah akan menimbulkan rasa iri hati dan sentiment kedaerahan? Untuk menangkis kecurigaan semacam itu, kita memunculkan bahasa dan aksara daerah pada mata uang secara seri. Mata uang tertentu dengan bahasa dan aksara Bali, bahasa dan aksara Batak, bahasa dan aksara Bugis, bahasa dan aksara Jawa, dan lain sebagaimana yang sudah kita lihat pada mata uang kita dengan seri gambar-gambar pahlawan nasional, seni tari dan lain sebagainya yang berasal dari daerah.

Untuk menutup makalah saya ini ada dua hal yang ingin saya tekankan. Saya melihat semua kegiatan semacam kongres ini dari dua segi: segi ergon dan segi energiae. Dari segi ergon, kita sadar bahwa Kongres Bahasa Indonesia ini akan merumuskan hasil kongres untuk dideseminasikan ke lembaga-lembaga pemerintah dan disosialisasikan kepada masyarakat ramai. Tetapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus memperhatikan segi energiae-nya, yaitu adanya dinamika untuk menindak lanjuti hasil kongres ini dengan perbuatan nyata. Oleh karena pembinaan dan pengembangan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah itu diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah daerah bertanggung-jawab melaksanakan undang-undang itu dengan segala konsekuensinya, sedangkan pemerintah pusat mengatur perekatan budaya, bahasa, sastra, dan aksara daerah menjadi budaya nasional Indonesia.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

my family

my family
zahra umur 8 bulan