akhwat

akhwat

Minggu, 15 April 2012

PERKEMBANGAN BAHASA SASTRA DAN AKSARA

Untuk memperoleh potret kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah, idealnya dilakukan penelitian etnografis, terutama pada bahasa-bahasa daerah yang jumlah penuturnya besar dan memiliki sistem tulisan sendiri. Oleh karena penelitian semacam itu makan waktu yang lama dengan biaya yang sangat tinggi, apa yang saya bentangkan di sini adalah hasil kajian kepustakaan, terutama hasil kongres bahasa daerah (bahasa Bali dan bahasa Jawa), dan hasil wawancara saya dengan mahasiswa program S2 dan S3 yang penutur asli bahasa Bali, Jawa, Bugis, Makasar, Bima, Lampung, dan Batak (yaitu bahasa-bahasa daerah yang mempunyai sistem tulisan sendiri.)

Sebenarnya, kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah saat ini sudah berkali-kali dibentangkan, disedihkan, ditangiskan, dan dijeritkan oleh para pemeduli bahasa daerah dalam kongres-kongres bahasa daerah antara lain Kongres Bahasa Bali, mulai kongres yang pertama sampai kongres yang kelima dan Kongres Bahasa Jawa dari kongres pertama sampai dengan kongres yang ketiga.

Seandainya bahasa-bahasa Nusantara lainnya dengan jumlah penutur yang besar, seperti bahasa Dayak, bahasa Batak, bahasa Bugis, dan lain-lainnya, juga mengadakan kongres bahasa daerah semacam Kongres Bahasa Bali dan Kongres Bahasa Jawa, potret yang akan disajikan tentang kondisinya akan senada, yaitu potret yang suram.

Pada Kongres III Bahasa Bali, misalnya, terasa adanya jati diri orang Bali yang mulai (atau sudah?) goyah, sehingga diperlukan peningkatan pembinaan dan pengembangan bahasa Bali yang merupakan cerminan jati diri orang Bali itu. Pernyataan ini saya buat atas dasar tema yang diambil oleh penyelenggara kongres yang ke lima dua tahun silam. Goyahnya jati diri orang Bali dan budayanya itu tercermin dalam menurunnya kualitas sikap, pengetahuan, dan ketrampilan berbahasa Bali di kalangan penuturnya, di dalam dan luar keluarga.

Orang Bali menyadari bahwa bahasa Bali mempunyai fungsi yang sangat penting antara lain (1) sebagai lambang kebanggaan daerah dan masyarakat Bali, (2) sebagai lambang identitas daerah dan masyarakat Bali, (3) sebagai alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat Bali, (4) sebagai pendukung sastra daerah Bali dan sastra Indonesia, dan (5) sebagai sarana pendukung budaya daerah dan budaya nasional Indonesia. Sayang dalam kehidupan sehari-sehari, sikap, pengetahuan, dan ketrampilan menggunakan bahasa Bali Alus (analog dengan Krama Inggil dalam bahasa Jawa), terutama di Bali Utara, menurun. Stratifikasi bahasa ini jarang (tak dipakai lagi?) bila seseorang berbicara dengan orang dari kasta yang lebih tinggi.

Sebagai gambaran tentang menurunnya penggunaan stratifikasi ini, orang Bali dari generasi yang berusia 30 tahun ke atas masih mampu secara aktif menggunakanya. Orang Bali dari generasi yang berusia antara 20 dan 30 tahun sudah mulai kurang aktif, sedang orang Bali dari generasi yang berusia kurang dari 20 tahun sudah tidak peduli lagi. Keadaan di Bali Selatan masih lebih baik. Ada beberapa alasan mengapa kondisi semacam itu bisa terjadi pada orang-orang Bali Utara. Alasan pertama yang paling ditonjolkan ialah adanya demokratisasi.

Karena itu ada keyakinan pada sementara orang Bali Utara bahwa kehidupan kekastaan digeser oleh adanya perbedaan warna. Tidak jarang orang Bali dari kasta yang lebih tinggi mempunyai status ekonomi, jabatan, dan pendidikan yang lebih rendah dari orang yang berkasta lebih rendah. Alasan kedua ialah adanya keyakinan secara historis bahwa Bali Utara itu tempat pengasingan atau pengucilan sebagai hukuman bagi orang-orang Bali Selatan yang vocal atau menentang sikap, kebijakan, dan perilaku raja-raja yang ada di Bali Selatan. Alasan ketiga ialah banyaknya pendatang dari luar Bali yang kemudian bermukim di Bali Utara, sehingga orang Bali yang ingin mengadakan komunikasi dengan para pendatang ini menggunakan bahasa Indonesia atau ragam bahasa Bali yang tidak halus.

Bagaimana keadaan sastra Bali? Sastra daerah Bali merupakan bukti historis masyarakat Bali. Sehubungan dengan itu, sastra daerah Bali sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Bali berkedudukan sebagai wahana ekspresi budaya, yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, social, politik, dan aspek-aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat Bali. Pengalaman hidup orang Bali dengan segala macam aspeknya itu unik dan memikat budaya lain, sehingga ada sebagian cerita Bali yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain ke dalam bahasa Inggris, seperti “Mati Salah Pati” oleh Gde Aryantha Soethama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa Inggris; penerjemah yang pertama ialah Vern Cork dengan pengalihan judul menjadi “Death by Misfortune” dan penerjemah kedua ialah Jennifer Lindsay dengan perubahan judul menjadi “The Wrong Kind of Death.” Cerita pendek “Luh Galuh” oleh Putu Oka Sukanta juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh dua orang penutur asli bahasa Inggris, yaitu Vern Cork dan oleh Mary Zurbuchen tanpa adanya perubahan judul, karena cerita pendek itu memaparkan pengalaman hidup gadis Bali yang bernama Luh Galuh. Satu lagi cerita pendek yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh penutur asli bahasa ini ialah “Mega Hitam di atas Pulau Kahyangan” yang ditulis oleh Putu Oka Sukanta oleh Vern Cork dengan perubahan judul dalam bahasa Inggris “Storm Clouds over the Island of Paradise.”

Melihat sikap orang asing yang sangat positif terhadap sastra Bali, sehingga karya sastra Bali diterjemahkan kedalam bahasanya, dengan tujuan supaya pengalaman hidup orang Bali yang sangat unik itu melengkapi aspek kehidupan yang tak mereka dapatkan dalam budayanya, saya berpendapat bahwa sastra Bali itu memiliki nilai humanisme universal.

Bagaimana kondisi aksara Bali dewasa ini? Bangsa yang memiliki aksara sendiri sebenarnya mencerminkan adanya budaya baca tulis, keinginan untuk mendokumentasikan segala bentuk kehidupan agar dapat diketahui, dipelajari, dan dinikmati oleh orang lain inter-generasi maupun antar-generasi tanpa batas ruang dan waktu. Itulah sebabnya, Kongres Bahasa Bali ke V menyimpulkan bahwa aksara Bali memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan budaya masyarakat Bali. Melihat fungsinya, aksara Bali digunakan dalam “nyastra”, seni, pendidikan, adat, dan agama Hindu. Dalam kehidupan sehari-hari, Juru Arah di Bali misalnya, menyampaikan wewarahnya dalam bahasa Bali yang masih tertulis dalam huruf Bali. Karena itu, upaya pelestarian dilakukan melalui jalur formal dan jalur nonformal.

Lewat jalur formal, secara umum aksara Bali diajarkan mulai tingkat sekolah dasar sampai kelas dua SMU dan secara khusus, aksara Bali diajarkan sampai tingkat perguruan tinggi bagi mahasiswa yang mengambil jurusan yang terkait dengan budaya dan sastra Bali. Lewat jalur non-formal upaya pelestarian aksara Bali dilakukan dengan pemberian fungsi aksara itu seperti penggunaannya oleh Juru Arah tersebut di atas. Sayang pada kalangan generasi muda Bali yang sekarang ini berusia 20 tahun ke bawah, penguasaan aksara Bali secara receptive apalagi secara produktif ada kecenderungan memudar.

Bagaimana halnya dengan kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah lainnya seperti Batak, Bugis, Bima, dan Lampung? Perkembangan bahasa, sastra, dan aksara daerah pada daerah-daerah ini memiliki nasib yang sama seperti yang terjadi pada daerah Bali. Pada bahasa Bali, seperti halnya dengan yang terjadi pada bahasa Jawa, stratifikasi dan ekspresi kehalusan masih terdapat pada leksikon dan kaidah sintaksis. Akan tetapi, pada bahasa-bahasa yang saya sebut terakhir di atas ini, stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan sudah tinggal dalam ekspresi paralinguistik saja. Saya percaya bahwa pada jaman dulu bahasa-bahasa ini memiliki stratifikasi bahasa dan ekspresi kesantunan yang tidak hanya tercermin dalam paralinguistik, melainkan pada leksikon dan wujud sintaksis sebagaimana yang terdapat pada ciri bahasa-bahasa Nusantara. Hilangnya leksikon dan wujud sintaksis pada bahasa-bahasa ini merupakan suatu kealpaan yang besar, karena sikap tidak-peduli kita terhadap bahasa-bahasa daerah.

Seperti halnya yang terjadi pada bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, pemakaian bahasa daerah yang saya sebut pada pargraf di atas ini terdesak oleh pemakaian bahasa Indonesia. Di antara orang dewasa Batak, Bugis, Makasar, Lampung, dan Bima misalnya frekuensi penggunaan bahasa Indonesia lebih tinggi dari penggunaan bahasa daerahnya, untuk urusan formal maupun non-formal. Sebagai ilustrasi, jika dalam keluarga terdapat ayah yang berpenutur asli bahasa Bugis dan ibu yang berpenutur asli bahasa Makasar, komunikasi antara suami istri lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah, yaitu bahasa Bugis atau bahasa Makasar. Komunikasi antara orang tua dan anak pun selalu menggunakan bahasa Indonesia, meski dalam keluarga dari suku yang sama. Pada bahasa-bahasa yang saya bahas pada paragraf di atas, penggunaan bahasa daerah dilakukan oleh generasi usia 40 tahun keatas. Berbeda dengan yang terjadi di Bali dan di Jawa, pada daerah-daerah yang saya sebut belakangan itu tak terdapat media cetak dalam bahasa daerah.

Sastra pada daerah-daerah ini, terutama sastra modern tertulis dalam bahasa Indonesia dengan setting Indonesia. Khas daerah sukar ditemui. Sastra kuno seperti “Nenek Malomo” ditulis dalam bahasa Bugis dengan aksara Bugis pada rontal. Pelestarian sastra semacam ini justru terdapat di desa. Semakin masuk ke jantung kota, minat terhadap sastra daerah oleh penutur aslinya semakin berkurang (atau tidak ada.) Upaya pelestarian sastra dan kesenian daerah masih terbatas pada penelitian yang terbatas pula pada kegiatan pendataan saja, belum sampai kepada pemberian fungsi.

Kehidupan aksara Batak, Bugis, Lampung, dan Bima tidak sebaik kehidupan aksara Bali. Kini hanya sebagian generasi yang berusia 40 tahun keatas saja yang mampu mengenali aksara daerah. Itu pun terbatas pada tingkatan recognitif, bukan pada tingkatan produktif. Pada kalangan generasi usia 20 tahun ke bawah, aksara daerah itu mereka anggap sebagai hiasan museum belaka.

Nasib aksara Bima tidak hanya memprihatinkan, tetapi sudah tinggal kenangan, sebab aksara yang pernah berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, dalam urusan administrasi pemerintahan dan representasi karya sastra itu kini sudah musnah seperti musnahnya burung dodo di planet bumi ini. Menurut ingatan orang Bima, tradisi menulis Bo’ [buku] dengan bahasa dan aksara Bima dimulai oleh perdana menteri Tureli Nggampo Makapiri Solo, setelah mempelajari sistem administrasi kerajaan Goa dan Luwu’. Karena alasan pengembangan agama Islam di Bima, pada tanggal 15 Muharam 1005 (13 Maret 1645), Sultan Abi’l Khair Sirajuddin memerintahkan agar Bo’ selanjutnya ditulis di atas kerta [bukan di atas rontal] dengan menggunakan bahasa Melayu [bukan bahasa Bima] dengan rupa tulisan yang diridlai oleh Allah [yang dimaksud aksara Arab] (Chambert-Loir dan Salahuddin, 1999: xii).

Bahasa Jawa adalah bahasa dengan jumlah penutur yang paling besar di Indonesia dan masih ditambah lagi dengan mereka yang tinggal di belahan bumi yang lain seperti di Afrika Selatan dan Suriname. Bagaimana kondisi bahasa, sastra, dan aksara Jawa sekarang? Kondisi bahasa Jawa dewasa ini sebenarnya telah saya bentangkan dua kali dalam dua kongres kebahasaan yang bertaraf internasional. Yang pertama saya bentangkan pada Kongres Bahasa Jawa ke III di Yogyakarta pada bulan Juli 2001 melalui makalah saya yang berjudul “Dampak Kealpaan Penutur Bahasa Jawa Terhadap Perilaku Bangsa”, dan yang kedua saya bentangkan pada Kongres Linguistik Nasional Masyarakat Linguistik Indonesia di Denpasar, Bali pada bulan Juli 2002, dengan judul “Kealpaan Terhadap Penghormatan dan Pemeliharaan Bahasa Daerah Pengemban Kebudayaan Nasional.”

Pada Kongres Bahasa Jawa yang ke III itu saya katakan bahwa bahasa Jawa sekarang ini telah mengalami penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas, stratifikasi bahasa Jawa yang ada—krama inggil, krama andhap, krama lugu, ngoko ndhap, dan ngoko lugu—yang sudah tertata secara rapi an indah itu tidak dipergunakan sebagaimana mestinya dalam bebahasa oleh sebagian besar penutur asli bahasa Jawa. Kesalahan pemilihan leksikon, sintaksis, dan semantis dalam bertutur kata sering terjadi pada kalangan penutur bahasa Jawa. Secara kuantitas, penggunaan bahasa Jawa krama inggil dan karma andhap frekuensinya sangat kecil, dalam kalangan keluarga dan masyarakat untuk urusan formal maupun non-formal, terutama pada kalangan generasi muda. Bahkan pada kalangan Keraton (yang diharapkan merupakan pusat tempat mempertahankan dan melestarikan kualitas dan kuantitas bahasa Jawa), interaksi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Jawa frekuensinya tidak setinggi frekuensi interaksi sehari-hari dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam penelitiannya, Dr. Pranowo (1998: x) mengungkapkan kenyataan sebagai berikut.

Kemampuan berdwibahasa [bahasa Jawa dan bahasa Indonesia] kerabat keraton tidak jauh berbeda dengan masyarakat di luar keraton. Kemampuan mereka dalam berbahasa Indonesia lebih baik daripada kemampuan berbahasa Jawa. Faktor penyebabnya antara lain pengaruh modernisasi yang tidak mungkin dihindari, anggapan bahwa penggunaan bahasa Indonesia lebih praktis daripada bahasa Jawa, keyakinan bahwa kemampuan bahasa Jawa kurang memiliki nilai ekonomis, dan lain-lain. Kenyataan seperti ini memperjelas bahwa peranan keraton Kesultanan Yogyakarta [dalam hal pemeliharaan budaya dan bahasa Jawa] sudah bergeser. Zaman dahulu, keraton berperan sebagai pusat bahasa dan budaya [Jawa], … sekarang tidak [lagi] demikian.

Saya amati, kehalusan bertutur kata yang tercermin dalam stratifikasi bahasa Jawa sudah mengalami erosi berat. Anak-anak muda tidak lagi mau dan mampu berbahasa krama dengan orang tuanya dan dengan orang lain yang lebih tua sebagai wujud adanya rasa hormat (yang mestinya etikanya begitu). Dari 87 orang mahasiswa saya yang berasal dari etnis Jawa, program S1 bahasa Inggris yang mengambil matakuliah binaan saya, tak seorang pun berbahasa krama dengan orang tuanya. Dalam simulasi berbahasa krama yang baik dan benar, tak seorang pun mampu melakukannya. Paling tidak ini yang terjadi di Malang dan sekitarnya. (Mudah-mudahan di daerah Jawa lainnya keadaan semacam di Malang itu masih lebih baik.) Pada kalangan anak-anak muda, sulit bagi kita mengharapkan sapaan yang didahului dengan ujaran “Nuwun sewu …”, atau “Kepareng …” , dan lainnya yang semacam yang digunakan sesuai dengan fungsinya.

Menurunnya kualitas bahasa Jawa bagi penutur aslinya tercermin dalam banyak makalah yang disajikan pada Kongres Bahasa Jawa III itu. H. Budiono Herusatoto, sarjana filasafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, misalnya, menulis tentang terjadinya rancu pikir di kalangan penutur asli bahasa Jawa dalam memahami makna tata karma dan unggah-ungguh. Menurut Herusatoto, ada tiga sebab yang menjadikan rancu pikir itu:
(a) dalam mengartikan dan memahami makna kata unggah-ungguh dan tata karma, kebanyakan penutur asli bahasa Jawa menggunakan ‘nalar dan rasa bahasa Indonesia’ [bukan nalar dan rasa kebahasaan dari perspektif bahasa dan budaya Jawa),
(b) buku pegangan pokok atau kamus yang dijadikan sebagai sumber untuk memahami arti kedua istilah itu adalah kamus dalam bahasa Indonesia, [yang tidak dapat menyentuh rasa dalam perspektif bahasa dan budaya Jawa], dan
(c) penulis dan peneliti yang non-Jawa tidak mau melihat dari pandangan perspektif budaya dan bahasa Jawa, melainkan memandangnya dari perspektif budaya dan bahasanya sendiri.
Terhadap menurunnya kualitas bahasa Jawa ini, I Wayan Bawa dari Fakultas Sastra Universitas Udayana, juga menuturkan dalam Kongres Bahasa Jawa III bahwa telah terjadi pengausan kemampuan menggunakan undha-usuk bahasa Jawa bagi etnik Jawa yang bermukim di Denpasar, Bali. Pada forum yang sama, Kisyani Laksono, dari Universitas Negeri Surabaya, dalam kajiannya tentang identifikasi dialek dan sub-dialek bahasa Jawa di Jawa Timur bagian timur dan Blambangan, menunjukkan bahwa pemilihan kosa kata ragam ngoko dan krama mengalami kekacauan.

Yang menarik perhatian ialah hasil pengamatan Christian Gossweiler, doctor teologi dari Universitas Negeri Tübingen, Jerman. Menurut Grossweiler, situasi bahasa Jawa dan bahasa daerah di Indonesia mengalami nasib yang sama dengan dialek-dialek dan bahasa-bahasa daerah di Eropa; secara khusus, bahasa Jawa mengalami nasib yang sama dengan bahasa Retorumantsch. Menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah itu disebabkan oleh adanya upaya memupuk rasa nasionalisme dengan menggunakan bahasa nasional, dan mengalpakan bahasa-bahasa daerah. Menurutnya, [yang rasanya juga berlaku di Indonesia] industrialisasi dan factor-faktor lain mendukung upaya itu. Apalagi dalam era globalisasi ini ada pelbagai perkembangan yang mencampurkan dan menyeragamkan bahasa dan budaya di seluruh dunia. Dalam bidang bahasa, bahasa Inggris dianggap sebagai satu-satunya bahasa internasional yang semakin banyak digunakan di seluruh dunia.

Selain faktor di atas khusus mengenai situasi bahasa daerah di Indonesia, Gossweiler melihat ada lagi faktor lain yang mempengaruhi menurunnya kualitas bahasa-bahasa daerah khususnya di Jawa, yaitu (1) orang tua mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwi-bahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak, (2) tidak ada lembaga bahasa daerah yang aktif menanggulangi masalah menurunnya bahasa daerah, (3) program penerbitan buku dan kursus-kursus bahasa daerah sulit didapat, (4) belum ada usaha menyesuaikan bahasa daerah dengan kebutuhan modern, (5) tidak ada upaya para sesepuh yang mendorong pemakaian bahasa daerah, meski penggunaan bahasa daerah itu jelek sekali pun, (6) belum ada upaya memupuk budaya multi-bahasa yang memberi kebebasan bahkan peranan bahasa-bahasa daerah, dan (7) belum tampak adanya jaringan kerja dan koordinasi di antara sesama forum peduli perkembangan bahasa daerah.

Bagaimana kondisi sastra Jawa dewasa ini? Meskipun penghormatan dan pemeliharaan bahasa Jawa hanya terbatas pada pencantuman gagasan dalam undang-undang dasar pasal 36 dan aturan tambahannya, sastra Jawa berkembang terus dari jaman ke jaman. Pada jaman bahasa Jawa kuna (periode sebelum jatuhnya kerajaan Majapahit), ada beberapa karya sastra yang terkenal, antara lain, Arjunawijaya, Arjunawiwaha, Bharatayuda, Mahabharata, Nagara Kertagama, Nitisastra, dan Sutasoma. Pada Abad Pertengahan, karya sastra yang terkenal antara lain Calon Arang, Dewa Ruci, Pararaton, Sri Tanjung, dan Tantri Kamandaka.

Pada Jaman Baru, sastra Jawa dapat dibagi menjadi dua—sastra tradisional dan sastra modern. Karya sastra Jawa tradisional dapat dibaca pada Serat Ambiya, Serat Arjuna Sasrabau, Serat Bratayuda, Serat Centhini, Serat Menak, Serat Nitipraja, Serat Pustaka Raja, Serat Rama, Serat Sabda Jati, Serat Sastra Gendhing, Serat Surya Raja, Serat Wedhatama, dan Serat Wulangreh. Kreativitas menciptakan karya sastra modern oleh penutur asli bahasa Jawa terus berlangsung hingga sekarang, meski tidak ditulis dalam aksara Jawa. Hasil ciptaan dalam karya sastra itu antara lain Anteping Tekad, Candhikala Kapuranta, Dokter Wulandari, Dongeng Sato Kewan, Hera-Heru, Jarot, Kemandang, Kidung Wengi ing Gunung Gamping, Kinanthi, Kirti Njunjung Drajad, Kreteg Emas Jurang Gupit, Layang Saka Paran, Mendhung Kesaput Angin, Nalika Langite Obah, Ngulandara, Pupus kang Pepes, Sinta, Serat Durcara Arya, Serat Rangsang Tuban, Serat Riyanta, Serat Gerilya Sala, Siter Gadhing, Sri Kuning, Sumpahmu Sumpahku, Timbreng, Trem, dan belum termasuk karya sastra dengan seting Jawa yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya sastra yang sebut di atas itu berbentuk prosa. Puisi (dalam bahasa) Jawa yang pernah dimuat pada berbagai media cetak antara tahun 1940 dan tahun 1980, dikumpulkan oleh Suripan Sadi Hutomo (almarhum) dalam satu antologi, yaitu Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980.

Selama manusia hidup, ia tidak akan berhenti memiliki pengalaman-pengalaman yang mengesankan. Sastra, pada hemat saya, merupakan jelmaan pengalaman itu dalam bahasa yang terpilih, dalam bahasa yang secara sadar atau tidak oleh penulisnya dinyatakan atas dasar prinsip-prinsip estetika. Itulah sebabnya, betapa pun jelek atmosfir yang melingkunginya, sastrawan tidak akan berhenti berkreasi. Saya kira, begitulah yang terjadi pada para sastrawan Jawa, Bali, Makasar, Bugis, Batak, Lampung, Sunda, dan lain-lainnya di tanah air ini.
Bagaimana halnya dengan aksara Jawa saat ini. Meskipun penutur asli bahasa Jawa merupakan penutur yang jumlahnya paling besar dibanding dengan penutur-penutur bahasa daerah lainnya di Nusantara, nasib aksara Jawa lebih buruk dari nasib aksara Bali. Aksara Jawa sekarang ini kedudukannya sebagai pengetahuan saja yang diajarkan kepada siswa sekolah dasar mulai kelas tiga sampai dengan kelas lima. Pengajaran aksara Jawa sekarang tidak sampai menjadi ketrampilan karena tidak difungsikan sebagai representasi ortografis bahasa Jawa.

Oleh karena itu, matapelajaran bahasa Jawa termasuk pengetahuan menuliskan aksara Jawa tidak akan dapat menempati kedudukan sebagai kebutuhan hidup orang Jawa, melainkan dianggap sebagai siksaan oleh para siswa, karena mereka beranggapan bahwa pengajaran pengetahuan menulis aksara Jawa itu hanya menambah beban pekerjaan mereka saja.
Meskipun Belanda didakwa sebagai biang keladi menurunnya derajad bahasa, sastra, dan aksara Jawa (dalam Riyadi, 2002: 5), pemerintah Belanda sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia masih menghormati dan memelihara aksara Jawa dengan memberikan fungsi pada urusan-urusan resmi misalnya dalam peringatan akan bahasa listrik dan pecahan mata uang, sebagaimana pada terdapat lampiran makalah ini.

Pada mata uang logam mulai ketheng, sen, benggol, kelip, kethip, dan seterusnya, terdapat tiga macam aksara—aksara Jawa, Arab, dan Latin. Sekarang, setelah bangsa sendiri merdeka, aksara Jawa itu tak dipakai dalam mata uang. Begitu pula untuk keperluan lain, aksara daerah (kecuali aksara Bali) tak difungsikan lagi.
Generasi Jawa di bawah umur 50 tahun tahu akan huruf Jawa, tetapi tidak dapat membaca dengan lancar, apalagi menulisnya sebagai alat melahirkan cipta, rasa, karsa, dan karyanya, baik yang menyangkut urusan formal, maupun yang menyangkut urusan informal dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

my family

my family
zahra umur 8 bulan